A Susana Kurniasih (Suara Pembaruan)
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berusaha menekan pertumbuhan permintaan tenaga listrik dengan cara mengkampanyekan penggunaan lampu hemat energi. Efektifkah cara ini ?
anajemen PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pusing tujuh keliling. Target pertumbuhan listrik yang dicanangkan hanya sebesar enam persen per tahun di Jawa, selalu terlewatkan. Padahal, dengan alasan kondisi ekonomi sedang tidak baik, pelanggan masih keberatan membayar tarif listrik sesuai harga keekonomiannya.
Akibat pertumbuhan yang pesat, cadangan listrik yang dimilikinya makin cepat berkurang, bahkan lebih rendah dari cadangan normal yang seharusnya ada, yakni 30 persen.
Berencana membangun pembangkit baru dengan kekuatan finansial sendiri, sungguh tidak mungkin karena kemampuan perusahaan tak ada. Sementara mengundang investor pun masih sulit dilakukan karena rendahnya tarif.
Tingkat kepanikan PLN makin tinggi ketika pada Januari 2003 lalu terbetik kabar realisasi pembangunan PLTU Tanjung Jati B di Jawa Tengah terancam terlambat lagi. Padahal proyek itu dijadwalkan untuk menyelamatkan pasokan listrik di Jawa pada 2005.
Ganjalan realisasi proyek adalah aturan dari Departemen Perindustrian yang menginginkan agar investor pelaksana proyek melakukan imbal dagang ketika mendatangkan peralatan dari luar negeri untuk membangun proyek itu.
Keharusan itu membuat Sumitomo, si pelaksana proyek merengut. Mereka keberatan karena saat negosiasi, kewajiban itu tidak pernah dibicarakan. Sementara kalau kewajiban itu diikuti, Sumitomo harus melibatkan pihak ketiga. Maklum, ia bukan importir. Akibatnya, perusahaan pun juga harus mengeluarkan dana ekstra.
PT PLN, yang bakal menjadi mitra Sumitomo ikut khawatir menunggu penyelesaian masalah ini. Sebab keterlambatan proyek akan membawa dampak yang cukup mengkhawatirkan.
Contoh nyata telah terjadi. Ketika realisasi pembangunan Tanjung Jati B mundur satu tahun karena skema pendanaannya belum disetujui pemerintah, PLN harus menyiapkan sumber listrik baru untuk menambal kekurangan listrik di Jawa pada tahun itu. Untuk itu, pada tahun 2003 BUMN itu harus pontang-panting mencari pinjaman dan mengeluarkan obligasi, untuk membangun 6x100 MW PLTU Muara Tawar di Jawa Barat.
"Padahal keberadaan PLTU Tanjung Jati B belum menutup seluruh kekurangan pasokan listrik di Jawa. Pada tahun 2005 masih ada kekurangan 400 MW. Setahun kemudian masih akan ada kekurangan 900 MW," kata Direktur Utama PT PLN, Eddie Widiono beberapa waktu lalu.
Agar rongga kekurangan tidak semakin besar, PT PLN mulai mengkampanyekan program-program untuk hemat energi listrik yang harus diproduksinya. Salah satunya adalah mengkampanyekan program lampu hemat energi ke rumah tangga kecil, yakni RI 450 VA dan 900 VA.
Sasaran dijatuhkan pada kelompok pelanggan ini karena jumlah mereka lah yang paling banyak, yakni mencapai 18 juta pelanggan. Padahal mereka hanya menggunakan listrik pada sore hari, yakni pada saat beban puncak.
Direktur Operasi PT PLN, Tunggono menargetkan pada tahun 2003 kelompok pelanggan ini akan mengganti 20 juta titik lampu yang digunakannya dengan lampu hemat energi. Kalau target tercapai, maka akan ada penghematan konsumsi listrik sebesar 640 MW pada saat beban puncak.
Bagi PLN, penghematan sebesar ini sangat besar dampaknya karena berarti bisa menghemat investasi di sisi pembangkitan, karena 600 MW itu setara PLTU Tanjung Jati B yang bakal menghabiskan investasi US$ 2,5 miliar.
Di sisi lain, konsumen juga akan diuntungkan karena rekening listriknya akan turun. Hitungannya, satu bohlam lampu 40 watt diganti dengan lampu hemat energi 8 watt, maka akan ada penghematan 32 watt. Dengan tarif rata-rata Rp 300 per KwH, maka setiap bulan satu titik lampu yang digantikan itu akan menghasilkan penghematan sekitar Rp 2.500, atau tepatnya Rp 32.000 per tahun.
Agar target tercapai, PLN akan memberikan subsidi kepada pelanggan Rp 3.000 per lampu, sehingga harganya menjadi sekitar Rp 12 ribu per buah. Namun pelanggan yang berhak mendapatkan diskon hanyalah pelanggan rumah tangga kecil 450 VA dan 900 VA. Sepanjang tahun 2003, setiap pelanggan hanya berhak membeli tiga buah bohlam lampu.
Cara mendapatkannya, setiap pelanggan datang ke loket pelayanan PLN di daerah masing-masing dengan membawa rekening listrik bulan sebelumnya. Setelah rekening dicocokkan dengan data administrasi kami, pelanggan bisa mendapatkan bohlam lampu yang disubsidi tersebut.
Untuk itu, PLN juga telah menjalin kerja sama dengan lima produsen lampu hemat energi, yakni Philips, General Electic, Osram, Chiyoda dan National.
"Mereka akan memberikan kemasan khusus pada lampu hemat energi ini," kata Tunggono. Selain itu semua produsen akan memberikan garansi selama satu tahun kepada konsumen bila ternyata lampu yang dijualnya tidak bisa digunakan selama 6.000 jam pemakaian atau sekitar empat tahun.
Namun Ketua Umum Asosiasi Industri Perlampuan Listrik Indonesia, John Manoppo menyangsikan efektivitas program yang digelar PLN itu. Berkaca pada hasil program serupa yang digelar pada tahun lalu, Manoppo bahkan memperkirakan lampu hemat energi yang akan terjual pada tahun ini hanya 35 persen dari target PLN. Penyebabnya, harga lampu terlalu mahal.
"Tahun lalu, ketika PLN mulai mengenalkan program lampu hemat energi dan menjualnya pada harga Rp 19.000, yang terjual hanyalah 300.000 buah lampu. Padahal pelanggan PLN mencapai 30 juta dan diperkirakan ada 120 juta titik lampu," katanya pesimistis. Agar target tercapai, Manoppo mengusulkan agar PLN memberi diskon yang lebih besar lagi, bahkan kalau memungkinkan subsidinya Rp 12 ribu per buah lampu, sehingga pelanggan hanya membeli pada harga Rp 3 ribu. Manoppo yakin subsidi yang besar ini tidak akan merugikan PLN karena hanya akan memaksa BUMN itu mengeluarkan dana Rp 240 miliar.
"Dana itu masih jauh lebih kecil dibanding kalau PLN harus membangun pembangkit berkekuatan setara listrik yang dibutuhkan untuk menyalakan 20 juta titik lampu 40 watt," katanya.
Keuntungan lain yang bakal diperoleh Indonesia, produsen-produsen lampu akan berinvestasi di Indonesia untuk memproduksi lampu hemat energi. Kalau permintaannya masih rendah seperti saat ini, Indonesia malah akan menguntungkan Cina, sebagai sentra produsen lampu hemat energi Asia Pasific saat ini.
Catatan Aperlindo, produsen lampu di Indonesia seperti Philips, GE dan Osram saat ini hanya memproduksi lampu pijar. Sementara yang memproduksi lampu hemat energi hanyalah Chiyoda Focus dan Matsushita Lighting Indonesia. Itupun sangat sedikit.
Sebagai gambaran, setiap tahun Cyoda yang bernaung di bawah bendera PT Sinar Angkasa Rungkut memproduksi 215 juta lampu pijar, 60 juta lampu neon dan 10 juta lampu hemat energi. Sementara Matsushita Lighting Indonesia yang memproduksi merek lampu National Panasonic memproduksi 7 juta lampu neon dan 5 juta lampu hemat energi.
"Jadi kalau pemakaian lampu sangat terbatas, barang Cina akan makin banyak yang masuk Indonesia. Bisa-bisa hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah buruh pabrik lampu di Indonesia," kata Manoppo.
Sebagai catatan tambahan, 80 persen konsumsi lampu hemat energi yang dikonsumsi Indonesia pada tahun 2002 masih didatangkan dari Cina. Mereka masuk secara legal maupun ilegal.*
0 komentar:
Posting Komentar
comments, criticisms, and suggestions will help us to continue to develop this blog, please comment with a sentence polite and do not contain racist or your comment will be removed, thanks